1 Sep 2010

Liliana pada Ibu

Pagi itu, seperti biasa ibu pergi tepat pukul 7. Dengan rute yang sama, ibu pergi seorang diri dengan menolak ajakan ku untuk menemani. Keputusanku bulat untuk mengikuti ibu. Karena khawatir ada sesuatu yang bisa menimpanya. Aku berdiri beberapa meter dari halte Halmahera. Ibu tidak tahu keberadaanku. Seketika itu bis datang dan kami masuk bergantian. Ibu tetap tidak tahu. Tidak ada situasi yang mencurigakan sejauh ini. Ibu tetap duduk diam dan aku sibuk mengamati. Tak lama setelah itu seorang pria yang baru naik duduk disebelah ibu. Tersenyum, menyapa dan…. mencium pipi ibu. Seketika itu jantungku menciut, entah apa namanya. Aku tidak suka pemandangan itu. Aku malu.
Di rumah aku sama sekali tidak menyapa ibu. Aku bingung mengatur hatiku untuk menerima tindak tanduk ibu saat tak ada aku. Ibu yang ku kenal tidak begitu sepeninggal ayah. Beberapa hari ini ibu merasa ada yg aneh dengan sikapku. Tak ada yang lebih baik dari jujur padanya. Ibu hanya tersenyum. Itu saja.
Ibu mengajakku pergi esok harinya. Menunggu bis di halte, di jam yang sama. Sulit rasanya membayangkan jikalau perjalanan ini akan bertemu dengan pria tertuduh itu. Naas, dia sudah ada di halte yang sama menunggu kami. Tersenyum, menyapa, dan mencium pipi ibu. Melihat ku dengan tatapan aneh, namun tersenyum lebar setelahnya. “Kayla? sudah besar rupanya”. Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu dia pergi tanpa rasa malu.
Kami masih duduk di halte, melewatkan beberapa bis. Nampaknya ini yang ingin di perlihatkan ibu padaku. “Dia…Liliana. Kau tidak mengenalnya? Dia guru piano mu saat kecil. Tak ada yg tahu pergulatan hatinya kecuali ibu. Sekarang dia mengubah semua identiasnya menjadi seorang pria. Biarlah. Itu sudah jadi jalan hidupnya. Beberapa minggu ini kami bertemu setelah sekian lama, dia selalu bangga karena dukungan ibu. Tak ada alasan untuk mencintainya sebagai saudaraku”. (Kami hanya duduk, berdekatan, tertawa bersama, dan berjalan pulang setelahnya).
Ah, Begitulah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar