20 Sep 2010

aku dan mu....

"119 Queen Street East - Brompton". Alamat yang tertera pada amplop berwarna tosca. "Ah, undangan perpisahan Maggie 3 hari lagi". Entah apa aku bisa datang pada acara sepupuku itu. Masih tetap dengan semangat meredup melakukan ini itu. "Undangan Maggie?",tanya Ibu yang sedang terburu mengambil sepatu. Aku mengangguk datar. "Drew, dengarkan. Ibu sama sekali tidak ingin kau merasa tidak diperhatikan. Mengertilah, banyak klien ku menunggu ku". Dia berhenti, menuangkan sebotol susu ke dalam mug dari meja makan, tanpa melihatku. Gambaran ini sudah sangat menjadi kebiasaan ku. Sejak Ayah meninggalkan Ibu dan kandungannya tanpa kesan yg baik, kami hanya hidup berdua. Rumah besar ini, masih terlalu kecil untuk masalah yg sedang kami hadapi. Entahlah, hanya aku yang merasa Ibu sudah tidak mengerti posisiku sebagai anaknya. Atau Ibu yang membiarkan aku melakukan apa saja tanpa harus mengganggu pekerjaannya. Aku tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang Ayah. Tapi aku tidak membutuhkannya. Ibu lebih dari 1 keluarga inti bagiku. Cukup. Namun banyak hal kecil yang dia tinggalkan semenjak jadwal pekerjaannya meroket. Aku hanya butuh Ibu. 

"Ingat janjimu. Kau harus datang tepat waktu. Tak ada alasan mengulur keadaan". Ujarnya pada pergantian pagi berikutnya. Tahu kah apa yang terjadi? Dua bulan yang lalu aku bertekad berbicara pada Ibu karena masalah batin ku, hubungan kami berdua yang terkesan seperti antara tamu losmen satu dengan tamu kamar lainnya. Rumah ini hanya jadi persinggahan menutup mata dan kekenyangan semata. Tidak ada perbincangan sebelum tidur, acara keluarga, bahkan kecupan saat pergi kuliah. Tanggapan Ibu? "Aku terlalu lelah mendengar ceritamu. Kita bicarakan lain waktu." Lalu berlalu menjadi orang lain. Tak menentu. Siapa yang tidak tahan? Apa susah mensolusikan masalah bersama? Kami berdua bermasalah. Iya. Dan ini bisa mengubah citranya di hadapanku. Sudahlah. Aku hanya tak bisa membencinya. Suatu saat aku akan membutuhkannya. Paling tidak di pernikahan ku kelak.

Okei, aku tepat berada di sebuah pintu, memenuhi janji ku.Mrs.Phalyn Brown - Psychiatrist, papan yg tertulis di pintu. Argh... Ini bukan alasan utama melimpahkan masalah pada psikiater. Aku masuk dan duduk berhadapan dengan pemilik ruangan itu. "Apa yg ingin kau lakukan?", tanyanya. "Apa semua masalah boleh kuceritakan? Termasuk memaki? Sumpah serapah?" ketusku. Dia mengangguk datar. Dua jam berlalu hingga habis kata-kataku. "Kau harus mengerti kondisi Ibumu. Dia sama sekali tidak ada waktu untukmu, karena banyak hal penting diluar sana." komentarnya. "Oya? berarti menahan sakit berlebihan selama 9 bulan dan melahirkan, membesarkan seorang anak adalah hal kecil?" tanyaku meninggi. "Sebagai anak, harusnya kau mengerti posisinya. Membiarkan dia melakukan apapun yang dia lakukan adalah hal yg baik." tandasnya. "Dan...membiarkan anaknya bersedih menahun juga hal yg baik menurutnya? Kira-kira apa yg akan dia lakukan setelah tahu hal ini?" mataku berkaca-kaca. "Mungkin dia akan membawa pulang pekerjaannya agar  kau bisa berinteraksi dengannya.Lalu kau?" tanyanya. "Aku akan pergi dari rumah.....", aku mulai menangis. "Kanada terlalu besar untukmu" ujarnya. "Tapi hatimu terlalu kecil untuk menerimaku, Ibu.Hal ini tak akan menyelesaikan  masalah. Aku ingin berbicara dengan Ibuku, bukan Ibu sebagai psikiater" Aku beranjak, berlari keluar. Tak mau tahu reaksi Ibu yg hanya melihatku. Entahlah...

1 komentar:

  1. bisa dijadiin cerpen negh... oya, follow nd komen balik yax.. sankyuu...

    BalasHapus