20 Sep 2010

aku dan mu....

"119 Queen Street East - Brompton". Alamat yang tertera pada amplop berwarna tosca. "Ah, undangan perpisahan Maggie 3 hari lagi". Entah apa aku bisa datang pada acara sepupuku itu. Masih tetap dengan semangat meredup melakukan ini itu. "Undangan Maggie?",tanya Ibu yang sedang terburu mengambil sepatu. Aku mengangguk datar. "Drew, dengarkan. Ibu sama sekali tidak ingin kau merasa tidak diperhatikan. Mengertilah, banyak klien ku menunggu ku". Dia berhenti, menuangkan sebotol susu ke dalam mug dari meja makan, tanpa melihatku. Gambaran ini sudah sangat menjadi kebiasaan ku. Sejak Ayah meninggalkan Ibu dan kandungannya tanpa kesan yg baik, kami hanya hidup berdua. Rumah besar ini, masih terlalu kecil untuk masalah yg sedang kami hadapi. Entahlah, hanya aku yang merasa Ibu sudah tidak mengerti posisiku sebagai anaknya. Atau Ibu yang membiarkan aku melakukan apa saja tanpa harus mengganggu pekerjaannya. Aku tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang Ayah. Tapi aku tidak membutuhkannya. Ibu lebih dari 1 keluarga inti bagiku. Cukup. Namun banyak hal kecil yang dia tinggalkan semenjak jadwal pekerjaannya meroket. Aku hanya butuh Ibu. 

"Ingat janjimu. Kau harus datang tepat waktu. Tak ada alasan mengulur keadaan". Ujarnya pada pergantian pagi berikutnya. Tahu kah apa yang terjadi? Dua bulan yang lalu aku bertekad berbicara pada Ibu karena masalah batin ku, hubungan kami berdua yang terkesan seperti antara tamu losmen satu dengan tamu kamar lainnya. Rumah ini hanya jadi persinggahan menutup mata dan kekenyangan semata. Tidak ada perbincangan sebelum tidur, acara keluarga, bahkan kecupan saat pergi kuliah. Tanggapan Ibu? "Aku terlalu lelah mendengar ceritamu. Kita bicarakan lain waktu." Lalu berlalu menjadi orang lain. Tak menentu. Siapa yang tidak tahan? Apa susah mensolusikan masalah bersama? Kami berdua bermasalah. Iya. Dan ini bisa mengubah citranya di hadapanku. Sudahlah. Aku hanya tak bisa membencinya. Suatu saat aku akan membutuhkannya. Paling tidak di pernikahan ku kelak.

Okei, aku tepat berada di sebuah pintu, memenuhi janji ku.Mrs.Phalyn Brown - Psychiatrist, papan yg tertulis di pintu. Argh... Ini bukan alasan utama melimpahkan masalah pada psikiater. Aku masuk dan duduk berhadapan dengan pemilik ruangan itu. "Apa yg ingin kau lakukan?", tanyanya. "Apa semua masalah boleh kuceritakan? Termasuk memaki? Sumpah serapah?" ketusku. Dia mengangguk datar. Dua jam berlalu hingga habis kata-kataku. "Kau harus mengerti kondisi Ibumu. Dia sama sekali tidak ada waktu untukmu, karena banyak hal penting diluar sana." komentarnya. "Oya? berarti menahan sakit berlebihan selama 9 bulan dan melahirkan, membesarkan seorang anak adalah hal kecil?" tanyaku meninggi. "Sebagai anak, harusnya kau mengerti posisinya. Membiarkan dia melakukan apapun yang dia lakukan adalah hal yg baik." tandasnya. "Dan...membiarkan anaknya bersedih menahun juga hal yg baik menurutnya? Kira-kira apa yg akan dia lakukan setelah tahu hal ini?" mataku berkaca-kaca. "Mungkin dia akan membawa pulang pekerjaannya agar  kau bisa berinteraksi dengannya.Lalu kau?" tanyanya. "Aku akan pergi dari rumah.....", aku mulai menangis. "Kanada terlalu besar untukmu" ujarnya. "Tapi hatimu terlalu kecil untuk menerimaku, Ibu.Hal ini tak akan menyelesaikan  masalah. Aku ingin berbicara dengan Ibuku, bukan Ibu sebagai psikiater" Aku beranjak, berlari keluar. Tak mau tahu reaksi Ibu yg hanya melihatku. Entahlah...

6 Sep 2010

Rendezvouz

Dia membukakan pintu mobil  untukku. Like he always did before.
Dia mencium keningku, hangat.
"Lama ya?"
Aku menggeleng dan tersenyum, memberikannya pelukan paling hangat. mencium aroma tubuhnya yang selalu kurindu.
Apa ini? hmm, gabungan antara wangi musk dan aftershave favoritnya. 

Aku manatap dashboard mobilnya. Tidak ada deretan CD. 
Aneh. Dia kan suka musik. 
Dia mengangsurkan flash disk.
"Disitu semua"
Aku mengangguk, mengutak ngatik gadget yang terpasang di stereo mobil itu. Mencolokkan flashdisk berisi ratusan lagu.
Tak berapa lama, musik mengalun.
Only Heaven Knows dari Rick Price membelah kesenyapan.

Aku menghela nafas, membetulkan anak anak rambut yang berantakan di keningku.
Memainkan gantungan manik manik bertuliskan lafaz tuhan yang tergantung di mobilnya. 
Lalu menatapnya yang duduk di balik setir.

"Kamu mau ngomong apa?"
Dia terdiam. Menatapku lama.
"Bukannya kamu yang mau ngomong?"
Aku tersenyum.
Lalu diam dan memeluknya. Lama.
"I miss you."
Dia tersenyum. Sebelah tangannya mengelus kepalaku, sementara yang lain sibuk memegang kemudi.
"I miss you too. I really do."

“We should stop seeing each other.”
Aku membuka percakapan.
Dia menatapku, heran.
“Inikah tujuanmu mengajakku bertemu?”
Aku mengangguk.
Dia terdiam. Mobil kami mengerem mendadak. Dia menundukkan kepalanya di balik kemudi.
Aku tahu dia lelah. Aku tahu dia menangis.
Aku memeluknya lagi.
“This would be the last.”
Aku berbisik di telinganya.

Aku mematikan stereo mobilnya. Dia menatapku.
Kami berciuman. Lama. Manis rindu. Getir perpisahan. Asin airmata.
Aku turun dari mobil.
Dia masih terus memanggil namaku.
Aku meneruskan langkah meskipun hatiku sakit dan meminta kembali.
Buat apa? Minggu depan dia akan menikah dengan wanita itu.


 Maybe my love will come back some day, only heaven knows....










3 Sep 2010

Makhluk Menawan Di Balik Jendela

Pagi ini dingin sekali. Masih agak bingung dengan cuaca di kota ini. Ya, aku termasuk yang baru disini. Kemarin aku sampai di tempat ini. Kucoba menggerak-gerakkan badanku agar menjadi hangat.

...sampai akhirnya aku sampai di sudut ini. Sudut yang indah sekali.. Dimana aku melihat makhluk yang sungguh menawan di balik jendela itu.. Terlihat cantik walaupun bangun tidur. Siapakah dia? Belum habis aku melihatnya, dia telah hilang dari jendela itu. Sempat aku berucap dalam hati, "Tuhan, pelit sekali Engkau hari ini.."

Malam berganti pagi, tetap dengan pagi yang dingin. Kali ini aku mencoba sekali lagi peruntunganku. Semoga aku bisa melihatnya lagi. Semoga Tuhan hari ini baik kepadaku. Dan, sepertinya Tuhan merasa bersalah kepadaku karena ke-pelit-anNya kemarin. Hari ini, aku bisa melihatnya lagi. Horee! Sungguh indah, dia sedang tersenyum-senyum di balik jendela itu. Menakjubkan.. Kali ini aku bisa melihatnya lebih lama.. Syukur kepadaMu Tuhan, walaupun akhirnya dia menghilang lagi dari jendela itu.

Bulan hilang berganti matahari. Kali ini aku telah siap di depan jendela makhluk Tuhan yang menawan itu. Kali ini aku melihatnya menangis.. Tunggu, dia tersenyum, tapi menangis.. Tapi air matanya mengalir. Apa dia sedang bermain-main dengan perasaannya? Tangisan, senyuman, menangis karena tersenyum.. Aneh sekali? Tapi, wah..Eh, sejak kapan dia mendekat? Makhluk menawan itu tiba-tiba sudah ada di depanku ketika aku sedang berpikir. Tapi, kenapa aku malah kabur? Ah, bodoh sekali! Kucoba kembali untuk melihatnya, tapi dia telah hilang. Kali ini aku tidak mengutuk Tuhan, tapi mengutuk diriku sendiri... Bodoh! Bodoh! Bodoh! sekali lagi Bodoh!!!

Hari berganti hari, dia terlihat semakin ceria. Tangisan aneh yang dulu kulihat telah lenyap. Yang ada hanyalah senyum ceria yang terus mengembang tiap pagi, setiap aku melihatnya. Dan aku tetap saja dengan kebiasaan jelekku, kabur ketika dia mendekat. Pengecut, pengecut yang awet, menjadi cacat di tubuhku.

Hingga pada akhirnya, pemandangan indah itu hilang.. Hilang setelah suatu hari ada keramaian di rumah itu. Sangat ramai, dan aku harus bersembunyi sepanjang hari tanpa bisa melihat makhluk menawan itu.

Musim telah berganti, dan aku masih tetap menunggu makhluk menawan itu untuk muncul kembali untuk menghiasi jendela. Dia tidak pernah muncul, tapi aku tidak pernah bosan menunggunya. Hingga suatu hari, keyakinanku terjawab. Dia muncul kembali di jendela itu, terlihat lebih dewasa, namun tetap menawan. Dan, apa itu? Dia membawa sesuatu di pelukannya. Sesuatu yang juga menawan, hanya saja, dia berukuran lebih kecil. Dua makhluk menawan. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Tuhan empat kali..

..dan lagi-lagi aku harus kabur bersembunyi karena para makhluk menawan itu mendekat. Tuhan, kenapa sih dengan tubuhku? Jelek sekali.. Selalu saja berinsiatif untuk lari sembunyi ketika makhluk menawan itu mendekat. Dan, lagi-lagi, dia telah menghilang ketika aku mengintip keluar..

Bulan kembali berganti matahari. Aku sudah berada di sudut ini untuk menyambut makhluk menawan (dan semoga dia membawa makhluk kecil yang menawan itu), tapi mereka tidak muncul menghiasi jendela itu. Esoknya, lusanya, tujuh kali bulan berganti matahari berikutnya, 30 kali-nya, kutunggu dan jendela itu terlihat sepi. Ah.. Sepertinya dua makhluk menawan itu hanya muncul hari itu saja.

Kukembangkan siripku, kuhisap oksigen dalam-dalam dengan insangku, berenang mengitari kolam bersama teman-temanku sambil berkata dalam hati, semoga lain kali Tuhan baik kepadaku dan makhluk itu kembali menghiasi jendela rumahnya..


*untuk ikan-ikan koi di rumah Renotxa, terima kasih sudah memberikan inspirasi di saat kepepet.*

2 Sep 2010

Keluarga Hebatku

Keluargaku, keluarga Hendrawan sangat terpandang di kota ini. Kami dikenal dermawan meski bergelimang harta. Kata tetangga sekitar, kehidupan keluarga kami cukup sukses. Alicia, kakak pertamaku, seorang dokter saraf ternama dan memiliki 2 anak yang lucu-lucu. Robie, kakak laki-lakiku memilih jadi pembalap. Tak heran jika laki-laki  24 tahun itu jarang pulang ke rumah. Sedangkan aku, anak keluarga ini dan menjadi satu-satunya anggota keluarga yang sangat pendiam, bahkan jarang sekali keluar dari kamar.

Beres! aku meletakkan lipstik di meja riasku.
Aku senang berdandan, karena itu meja riasku penuh dengan berbagai macam kosmetik, parfum juga aksesoris cantik. Aku mengambil sisir, lalu mulai kubelai rambutku pelan. Perfect!

Hhhhh... aku kehilangan stocking wool abu-abuku.
Terpaksa harus membongkar lemari kecil tempat aku menyimpan semua koleksi stocking dan legging.
Astaga! Tak sengaja aku menemukan boneka panda kecil merah muda di antara tumpukan itu.
Mataku mulai luluh, nyaris air mata itu menetes. Peristiwa 15 tahun silam mulai berputar kembali. Ibu yang memberinya untukku, dan tanpa kami sadari ayah melihatnya. Dengan serta merta ibu dihujani tamparan oleh ayah. Aku tak mengerti apa maksud ayah menampar ibu. Apakah salah jika ibu memberiku boneka?
Ah sudahlah, lebih baik kusimpan saja boneka itu lagi. Karena hanya membuatku semakin rindu ibu. Lama sekali aku tak mengunjungi makamnya.

Hapeku berbunyi. Owh, Satya BBM aku, dia sudah ada di bawah menungguku.
Senyumku langsung mengembang. Segera aku selesaikan acara poles memoles badanku.
Kusambar sepatu Gucci yang baru saja dibelikan Satya kemarin. Aku ingin memakainya untuk menyenangkan hatinya.

Aku mulai melangkah menuruni tangga rumahku, pelan-pelan... kucoba berjinjit supaya tak bersuara.
aaaaaaaahhh....  tiba-tiba suara itu membuat langkahku terhenti.

"Mau kemana lagi kamu?" ayah mendekatiku dengan kening mengkerut.

Aku menunduk karena takut. Tak kusangka ayah ada di rumah.
Biasanya dia sibuk menghabiskan waktunya dengan teman-teman bisnisnya.

"Mulutmu tidak bisa digerakkan atau bagaimana? Ayah tanya dan kamu harus jawab!" suaranya semakin keras.

Bibirku gemetar, "jalan-jalan, ayah".

"Dengan dandanan begini?! Kamu mau mempermalukan ayah?".

Plaaakkkk!!! Pipiku sakit, air mataku jatuh. Ayah menamparku lagi. Ia mengoyak pakaianku. Ya Tuhan, tolong aku.

Tuhan benar-benar mendengar doaku. Ia mengirimkan malaikat penyelamatku.
Mbok Ina, perempuan yang mengasuhku sejak umur 3 tahun. Ia berikan seluruh kasih sayangnya padaku selepas ibu pergi.
Kali ini ia langsung merangsek dan menuntunku ke belakang dengan tangan rentanya.
Ayahku hanya bisa menatap tajam, tanpa punya keberanian untuk merebut tubuhku dari pelukan wanita itu.

Mbok Ina mengusap rambutku, aku menangis kencang di pelukannya.

"Jangan marah sama ayah ya, dia hanya ingin kamu jadi kebanggaannya, karena kamu satu-satunya yang ayah harapkan bisa menganggat derajatnya," ucapnya kalem.

Keluarga ini tak sehebat yang tetangga lihat. Alicia dua kali hamil tanpa suami, Robie kini jadi buron karena narkoba, dan aku... Erick, memilih hidup dengan payudara implan dan mengganti penis itu menjadi vagina.
(xocolatl)

Rengkuhanmu

Aku baru saja tersadar. Tak tahu ada dimana ini. Sebuah ruangan besar bercat putih. Rapi dengan aroma lavender dimana-mana. Masih aku rasakan lemahnya raga. Entah apa yang terjadi, motorik ku hampir tak bisa ku kendalikan. Dimana aku?

Seorang pria datang perlahan masuk dari pintu kayu tepat di depanku. Mendatangi ku. Tersenyum padaku yang sedari tadi tak berdaya di ranjang besar ini. Ditutupnya pintu itu sampai rapat hingga angin pun enggan mengetuk. Aku terdiam, bertanya-tanya siapakah dia, apa yang diingkannya saat ini. Dia berbaring tepat disebelahku. Mengecup pelan dahi ku, mataku, bibirku, memandangi ku sangat lama sampai rasa puas tersirat di muka tegas nya. Matanya mengamati tiap lekuk tubuhku, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun aku tak malu. Diraihnya badanku, dipeluknya aku, lalu.... Perlahan menanggalkan apa-apa yang ada di badanku. Satu persatu sambil mencium wajahku. "Tidak !!" Teriak ku. "Apa mau mu?", semua itu reaksi keinginanku agar dia berhenti sampai disitu. Sungguh aku tidak tahu apa yang di dilakukannya, aku hanya bisa melihatnya, merintih dan menangis sejadiku.

Secepat itu, seorang wanita muda datang tergesa-gesa dari pintu yang sama. Pria ini terkejut, dilepaskannya segala perlengkapan yang harusnya ada padaku. Mendekati wanita itu, berbincang. Entah apa yang  mereka rahasiakan. Semua, nampak aneh. Semua nampak biasa saja menurut mereka. Situasi apa ini, Tuhan? Batinku.Wanita muda itu terlihat bergegas, meninggalkan pria itu dan aku di ruangan ini. Sepertinya situasi ini sudah diatur rapi oleh keduanya. Biarlah. Aku tetap disini, mengikuti tiap waktu yang diinginkan mereka. Walau sangat susah memerdayakan gerak dan kata. Karena aku seorang Tami, 2 bulan, tak berdaya. Mungkin pria itu yang disebut Ayah, dan wanita muda tadi yang kelak akan ku panggil Ibu saat aku bisa berbicara nanti.

1 Sep 2010

Bias Topeng

Malam ini kami hanya berdua.
Lama sekali aku menantikan malam ini, hanya berdua dengan Armand.
Alunan Goodhands Tonight dari Al Jerreau membuat kami larut dalam suasana.
Seperti biasa, dia selalu memuji masakanku.
Aaah… dia memang begitu menyayangiku.
“Nanti aku membawamu keliling dunia, kamu bisa memotret sepuasmu, beb.” kata Armand.
Aku tersenyum. Terasa dejavu dengan kata-kata dia beberapa waktu lalu.
“Aku mau sekali sayang, cepatlah selesaikan pekerjaanmu dan bawalah aku ke sana.” Entah kenapa aku selalu mengatakan itu setiap kali dia menjanjikan sesuatu padaku.
Armand selalu mendukung hobiku memotret.
Dia selalu membelikan semua yang aku butuhkan.
Tak peduli seberapa mahalnya.
“Secepatnya aku coba sayang.” ucapnya sambil mencium keningku.
Senang. Yah… itulah perasaanku sekarang.
Karena Armand sudah tertidur lelap di pinggir kolam renang, setelah tubuhnya kudorong dari balkon lt.20 apartemenku.
Dia pikir aku tidak tahu perselingkuhannya dengan ibuku!

Liliana pada Ibu

Pagi itu, seperti biasa ibu pergi tepat pukul 7. Dengan rute yang sama, ibu pergi seorang diri dengan menolak ajakan ku untuk menemani. Keputusanku bulat untuk mengikuti ibu. Karena khawatir ada sesuatu yang bisa menimpanya. Aku berdiri beberapa meter dari halte Halmahera. Ibu tidak tahu keberadaanku. Seketika itu bis datang dan kami masuk bergantian. Ibu tetap tidak tahu. Tidak ada situasi yang mencurigakan sejauh ini. Ibu tetap duduk diam dan aku sibuk mengamati. Tak lama setelah itu seorang pria yang baru naik duduk disebelah ibu. Tersenyum, menyapa dan…. mencium pipi ibu. Seketika itu jantungku menciut, entah apa namanya. Aku tidak suka pemandangan itu. Aku malu.
Di rumah aku sama sekali tidak menyapa ibu. Aku bingung mengatur hatiku untuk menerima tindak tanduk ibu saat tak ada aku. Ibu yang ku kenal tidak begitu sepeninggal ayah. Beberapa hari ini ibu merasa ada yg aneh dengan sikapku. Tak ada yang lebih baik dari jujur padanya. Ibu hanya tersenyum. Itu saja.
Ibu mengajakku pergi esok harinya. Menunggu bis di halte, di jam yang sama. Sulit rasanya membayangkan jikalau perjalanan ini akan bertemu dengan pria tertuduh itu. Naas, dia sudah ada di halte yang sama menunggu kami. Tersenyum, menyapa, dan mencium pipi ibu. Melihat ku dengan tatapan aneh, namun tersenyum lebar setelahnya. “Kayla? sudah besar rupanya”. Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu dia pergi tanpa rasa malu.
Kami masih duduk di halte, melewatkan beberapa bis. Nampaknya ini yang ingin di perlihatkan ibu padaku. “Dia…Liliana. Kau tidak mengenalnya? Dia guru piano mu saat kecil. Tak ada yg tahu pergulatan hatinya kecuali ibu. Sekarang dia mengubah semua identiasnya menjadi seorang pria. Biarlah. Itu sudah jadi jalan hidupnya. Beberapa minggu ini kami bertemu setelah sekian lama, dia selalu bangga karena dukungan ibu. Tak ada alasan untuk mencintainya sebagai saudaraku”. (Kami hanya duduk, berdekatan, tertawa bersama, dan berjalan pulang setelahnya).
Ah, Begitulah….

Aku dan Sardi

Melihat arloji, jam 23:43. Tidak begitu dingin karena mendung menggelantung di langit. Dengan jaket setebal ini dan kerpus di kepala malah bikin tambah gerah. Dan aku masih disini, bersembunyi di balik tong sampah di pinggir saluran air yang gelap.
Kembali melihat arloji, jam 00:51. Satu jam lebih telah berlalu. Mata mulai mengantuk, nyamuk-nyamuk mulai menyerang daerah yang terbuka. Tapi seseorang yang kunanti itu tak datang-datang juga. Dan saya masih disini, bersembunyi di balik tong sampah di pinggir saluran air yang gelap.
Jam 02:56. Mobil itu memasuki lorong, menuju saluran air. Dan aku telah siap dengan kedatangan Sardi, gembong narkotik kelas kakap yang berjanji menemuiku disini.
Mobil Sardi berhenti tak jauh dari tempatku bersembunyi. Terlihat dia mematikan mobil dan membuka bagasi.
Sardi membelakangiku, dia sedang bersusah payah mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobil. Dengan mengendap-endap aku mendekatinya dari belakang, belati dingin yang aku beli dari eBay seminggu lalu sudah siap membalaskan dendamku. Kuangkat belati, aku ayunkan dengan sekuat-kuatnya ke leher Sardi. Hanya butuh 3 menit yang penuh derita untuk Sardi melepaskan nyawanya sambil memegang leher yang tertancap belati 150 ribu-ku.

Kulihat Sardi yang sudah tidak bergerak. Dalam hati aku berkata, “Selamat jalan, ayah. Semoga engkau bahagia disana. Terima kasih sudah membawakan sahabatku yang aku bunuh tadi kesini.”
Melihat arloji, jam 03:05. Tidak begitu dingin karena mendung menggelantung di langit. Dengan jaket setebal ini dan kerpus di kepala malah bikin tambah gerah. Dan aku beranjak pergi dari lorong ini. Besok aku harus menemui para pengedar narkotik yang akan membeli dariku, sahabatku, dan ayahku, Sardi.

Sembunyi - sembunyi

Aku berjingkat melintasi ruang tamu menuju ruang makan.
Sepi.
Aku menelan ludah. Berdebar debar aku melangkah melintasi petak petak ubin di lantai, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Pelan pelan, Tiffany.. aku menyemangati diriku sendiri.
Sampai di pertengahan koridor penghubung ruang tamu dan ruang makan, aku tercenung. Apa ini? Harus mengendap endap di rumah sendiri hanya untuk makan!! Aku bukan maling.. hatiku rasanya ingin menjerit.
Andai saja, aku tidak dilahirkan dalam keluarga ini… Eh, pikiran macam apa itu?? Aku menggeleng gelengkan kepala sambil menepis udara, seakan hal itu bisa mengusir pikiran negatif yang bersemayam di kepalaku. Allah, kuatkan aku. Kuatkan aku.
Masih berjingkat, aku meneruskan langkah kakiku. Mama papa belum bangun… Koko- kokoku juga pasti masih pulas. Di rumah ini, kehidupan baru mulai jam 6 pagi. Karena itu, aku merasa aman aman saja melakukan hal ini. Mereka pasti belum bangun jam segini..
Perlahan, aku membuka pintu kulkas.. Ada nugget… sosis.. ada mantau dan kuah kepiting sisa semalam.. aku meraih sebanyak mungkin makanan dalam pelukanku. Ada buah gak ya? Pelan pelan, aku meraih handle laci buah, menariknya sepelan mungkin dan..
“TIFFANY!!!”
Aku terlonjak kaget. Batangan sosis dan bungkusan nugget berjatuhan.
Mama!! Desisku tak percaya. Sejak kapan beliau berdiri disana?
“ Mama kecewa sama kamu, nak.” Mama berjalan mendekat.
Aku terdiam. Menelan ludah. Tidak berani menatap wajah tuanya.
“Kamu harusnya bilang..” suara mama sedikir bergetar.
Menangiskan dia? Kecewa pada putri kecilnya yang memberontak?
Aku terkesiap. Mama memelukku!! Dari semua pilihan yang mungkin berhak aku dapatkan karena mengecewakan hatinya.. dia memelukku!!!
” Maafkan Fanny ma…” Aku terisak. Meleleh pada pelukannya.
“Kamu seharusnya cerita tentang masalah sebesar ini… mama tidak akan pernah melarang kamu untuk hal sepenting ini nak.. ini masalah pilihan hati…” Mama melepas pelukannya. Ia menatapku dengan mata tua yang bijak itu.
“Jadi, mama ga masalah….. kalau Fanny sekarang muslim?” aku bertanya, hati hati.
“Enggak, sayang!! Kamu harusnya bilang… besok-besok biar mama temani kamu sahur… “ mama mengacak ngacak rambutku, masih dengan intensitas kasih sayang yang sama seperti sebelumnya. Aku memeluk mama erat erat.
Alhamdulillah, berkah Ramadhan itu memang benar benar ada!!